top of page
Search

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA NON-STANDAR DI INDONESIA

Updated: Dec 5, 2024

Pertanyaan:

Bagaimana pengaturan hubungan kerja non-standar dalam Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, serta apa implikasinya pada perlindungan hak-hak pekerja non-standar? 


Terima kasih atas pertanyaannya! Dalam menjawab pertanyaan ini, kami akan merujuk pada beberapa jurnal yang relevan. Sebelum memberikan jawaban perihal implikasi pengaturan hubungan kerja non-standar dalam hukum ketenagakerjaan pada perlindungan hak-hak karyawan non-standar, kami akan menguraikan terlebih dahulu perihal perkembangan hubungan kerja serta jenis-jenis hubungan kerja non-standar di Indonesia.

  • Perkembangan Hubungan Kerja 

Pada awalnya, diskusi perihal Hukum Ketenagakerjaan hanya mengenal 1 (satu) jenis hubungan kerja, ialah hubungan kerja standar. Definisi hubungan kerja sendiri diatur dalam Pasal 1 Angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan), yang menetapkan bahwa, “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.” Hubungan kerja standar ini umumnya memenuhi ketiga unsur tersebut. Menurut International Labour Organization (selanjutnya disebut ILO), hubungan kerja standar mempunyai 3 (tiga) ciri utama, yakni pekerjaan penuh waktu, status tetap, serta perjanjian kerja. Namun, perubahan di pasar kerja global melahirkan jenis hubungan kerja baru yang disebut hubungan kerja tidak standar (non-standard form of employment). ILO mendefinisikan ini sebagai hubungan kerja yang menyimpang dari standar. 


  • Jenis-Jenis Hubungan Kerja Tidak Standar 

Ada 4 (empat) jenis hubungan kerja tidak standar menurut ILO, yakni: temporary employment; multi-party employment relationship; part time serta on-call work; serta disguised employment atau dependent self-employment. Meskipun beberapa bentuk pekerjaan tidak standar bisa mengakomodasi perubahan pasar kerja, faktanya karyawan non-standar sering kali lebih rentan, sering berpindah dari satu pekerjaan jangka pendek ke lainnya, berpenghasilan lebih rendah, dan mengalami kesulitan-kesulitan lainnya dalam memperoleh jaminan sosial. Di Indonesia, karyawan dengan hubungan kerja tidak standar kerap dikategorikan menjadi pekerja informal. Berikut adalah penjelasan 4 (empat) jenis hubungan kerja tidak standar:


  1. Hubungan Kerja Sementara (Temporary Employment)

Hubungan kerja sementara atau temporary employment adalah jenis hubungan kerja non-standar yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dengan istilah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (selanjutnya disebut PKWT). Meskipun bersifat kontrak, UU Ketenagakerjaan mengatur agar pekerja tetap mendapatkan perlindungan, seperti keikutsertaan dalam program BPJS Ketenagakerjaan. PKWT hanya berlaku untuk pekerjaan tertentu, seperti pekerjaan sementara, musiman, atau yang selesai dalam jangka waktu maksimal 3 (tiga) tahun. Kontrak PKWT dibatasi maksimal 2 (dua) tahun dengan perpanjangan 1 (satu) tahun, atau 2 (dua) tahun dengan pembaruan perjanjian maksimal 2 (dua) tahun. Dalam hal ini, PKWT harus dibuat secara tertulis dan didaftarkan ke Dinas Ketenagakerjaan setempat. Apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, PKWT dapat berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (selanjutnya disebut PKWTT). Secara yuridis, walaupun masih banyak masalah dalam penerapannya, regulasi PKWT di Indonesia cukup baik, karena memberikan hak yang hampir sama bagi pekerja kontrak dan tetap, kecuali dalam hal pesangon dan uang penghargaan masa kerja. 


  1. Hubungan Kerja Multi-Pihak (Multi-Party Employment Relationship)

Salah satu bentuk hubungan kerja tidak standar lainnya ialah hubungan kerja multi-pihak, yang melibatkan lebih dari dua pihak. Dalam Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, konsep ini dikenal melalui praktik outsourcing, yang melibatkan karyawan, pengusaha, serta perusahaan penyedia jasa. Dalam hubungan ini, karyawan terikat secara hukum dengan perusahaan outsourcing, bukan dengan pengusaha tempat mereka bekerja, sehingga membentuk hubungan kerja segitiga. Outsourcing mulai diterapkan di Indonesia sejak 1990-an serta semakin berkembang setelah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Meskipun istilah “outsourcing” tidak disebut secara eksplisit, Pasal 64 serta 65 UU Ketenagakerjaan mengatur jika perusahaan bisa menyerahkan sebagian pekerjaannya pada perusahaan lain melalui perjanjian tertulis. Pasal 65  UU Ketenagakerjaan juga menetapkan jika pekerjaan yang dialihdayakan harus memenuhi syarat tertentu, seperti dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama perusahaan. Perlindungan untuk karyawan outsourcing diatur dalam Pasal 65 Ayat (4) serta Pasal 66 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan, yang mewajibkan perusahaan penyedia jasa memberikan perlindungan serta syarat kerja yang setara dengan perusahaan pemberi kerja. Jenis pekerjaan yang bisa diserahkan ke perusahaan penyedia jasa dibatasi pula, hanya mencakup pekerjaan seperti cleaning service, catering, security, serta transportasi karyawan. Namun, meskipun telah ada regulasi yang berusaha melindungi hak karyawan dalam sistem outsourcing, kenyataannya masih banyak masalah yang ditemukan di lapangan. Banyak serikat karyawan menolak sistem ini karena dianggap merugikan karyawan. Seringkali, penggunaan karyawan dialihkan dari kontrak kerja permanen menjadi karyawan kontrak melalui outsourcing untuk mengurangi tanggung jawab yang dimiliki pengusaha pada karyawan.


  1. Hubungan Kerja Paruh Waktu (Part-Time Work) serta Hubungan Kerja Panggilan (On-Call Work)

Jenis hubungan kerja non-standar ketiga adalah pekerjaan paruh waktu (part-time work) dan pekerjaan panggilan (on-call work). Dalam era revolusi industri keempat, semakin banyak orang yang bekerja secara part-time atau on-call, terutama di kalangan pekerja muda. Hal ini disebabkan oleh munculnya pekerjaan yang bisa dikerjakan secara remote, sehingga tidak perlu bekerja penuh waktu. Secara kuantitatif, mengacu Pasal 1 Angka 17 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.250/MEN/XII/2008 tentang Klasifikasi dan Karakteristik Data dari Jenis Informasi Ketenagakerjaan, pekerja paruh waktu diartikan sebagai pekerja yang bekerja kurang dari 35 (tiga puluh lima) jam seminggu. Sementara itu, pekerjaan panggilan berarti seseorang hanya bekerja saat dibutuhkan tanpa waktu kerja tetap. Saat ini, belum ada payung hukum yang memadai untuk hubungan pekerjaan paruh waktu maupun pekerjaan panggilan. UU Ketenagakerjaan masih mengatur jam kerja secara kaku, dengan pengecualian yang terbatas. Akibatnya, perlindungan hukum untuk pekerja part-time dan on-call belum ada, sehingga hak-hak dasar seperti upah minimum, jam kerja, dan jaminan sosial tidak terlindungi. Hal ini sangat disayangkan mengingat jenis pekerjaan part-time dan on-call work membuat karyawan paruh waktu, yang umumnya perempuan serta mahasiswa, rentan terhadap marginalisasi dan upah yang lebih rendah dibanding pekerja penuh waktu. 


  1. Hubungan Kerja Terselubung (Disguised Employment Relationship) serta Hubungan Kerja Mandiri yang Tergantung (Dependent Self-Employment)

Kategori keempat dari hubungan kerja non-standar adalah hubungan kerja terselubung (disguised employment relationship) dan hubungan kerja mandiri yang tergantung (dependent self-employment). Hubungan kerja terselubung terjadi ketika majikan memperlakukan seseorang bukan sebagai pekerja untuk menyembunyikan status hukumnya sebagai pekerja, sehingga karyawan tidak dianggap menjadi karyawan resmi tetapi bergantung pada satu perusahaan untuk pendapatan serta pengaturan kerja. Hubungan kerja ini lazim ditemui utamanya dalam era gig economy. Gig economy dapat diartikan sebagai situasi dimana orang-orang tidak memiliki keinginan untuk pergi bekerja atau bahkan tidak mau mempunyai pekerja, namun mereka akan menyelesaikan berkoordinasi melalui media online. Jenis-jenis hubungan kerja ini sering ditemukan dalam era gig economy, yang ditandai dengan pekerjaan yang diselesaikan melalui online platform, seperti Gojek serta Grab. Kedua perusahaan ini beroperasi dengan perjanjian kemitraan, bukan perjanjian kerja, sehingga karyawan tidak mempunyai status karyawan serta tidak memperoleh hak-hak dasar seperti asuransi, jaminan sosial, serta cuti berbayar. Meski karyawan mempunyai fleksibilitas untuk menentukan jam kerja, mereka tetap terikat dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh platform. Misalnya, rating rendah bisa menyebabkan perusahaan mengakhiri kemitraan secara sepihak. Hal ini menunjukkan jika karyawan sebenarnya masih sangat bergantung pada platform, sehingga hubungan ini lebih tepat disebut menjadi dependent self-employment. Kritik pada kondisi kerja dalam gig economy mencakup lemahnya perlindungan karyawan serta penurunan gaji, mengingat karyawan sering kali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi mereka, seperti perubahan sistem poin yang mempengaruhi pendapatan pengemudi. Pekerjaan menjadi pengemudi transportasi online menarik untuk kaum muda yang kesulitan memperoleh pekerjaan lain. Namun, pekerjaan ini juga membuat karyawan muda sulit beralih ke pekerjaan yang lebih baik karena minimnya keterampilan baru yang diperoleh, hingga terjebak dalam situasi deskilling serta skill trap.


  • Perlindungan Hukum bagi Pekerja Non-Standar 

Pekerja dalam hubungan kerja non-standar lebih rentan dibandingkan karyawan dalam hubungan kerja standar, sering mengalami diskriminasi serta jarang terlibat dalam serikat karyawan karena takut kehilangan pekerjaan. Pengaturan hukum penting untuk melindungi hak-hak dasar pekerja non-standar, namun selain aturan hukum, faktor pelaksanaan serta kondisi sosial juga berperan. Pekerja PKWT serta outsourcing di Indonesia mempunyai perlindungan yang lebih baik dibanding pekerja part-time, on-call, atau gig economy yang tidak diatur oleh hukum. Dengan meningkatnya jumlah pekerja non-standar, perlindungan hukum harus lebih diperhatikan. Sayangnya, Undang-Undang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UUCK) justru mengurangi perlindungan untuk pekerja kontrak serta outsourcing, menghapus batas waktu PKWT serta memperluas jenis pekerjaan yang bisa di-outsourcing, yang dikhawatirkan akan semakin meluas.

Pekerja yang berada dalam hubungan kerja non-standar memiliki posisi yang rentan dibandingkan pekerja yang berada dalam hubungan kerja standar. Secara empiris, pekerja dalam hubungan kerja non-standar lebih sering mengalami pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan, contoh nyatanya adalah pekerja outsourcing lebih sering mengalami diskriminasi dengan basis gender, usia, atau hubungan perkawinan. Oleh karena itu, pemerintah harus memikirkan perlindungan hukum bagi pekerja-pekerja tersebut karena ketiadaan peraturan hukum terhadap mereka berimplikasi langsung terhadap hak-hak dasar yang mereka dapatkan. Hal ini dikarenakan meskipun UUCK telah disahkan, sayangnya undang-undang ini tidak memberikan tambahan perlindungan hukum bagi pekerja dalam hubungan kerja non-standar. Ketentuan ini justru mengurangi perlindungan hukum bagi pekerja dalam 2 (dua) jenis hubungan kerja non-standar, yaitu PKWT dan outsourcing. Sesungguhnya diperlukan pembatasan untuk mencegah penyalahgunaan penggunaan PKWT yang merugikan pekerjaan, namun, pemerintah justru menghapus ketentuan batas waktu PKWT yang sebelumnya diatur dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Lebih lanjut, UU Ketenagakerjaan telah memberikan pula batasan secara eksplisit bahwa outsourcing tidak boleh dilakukan bagi pekerjaan-pekerjaan yang bersifat sentral dalam perusahaan sebagaimana diatur pada Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. 

Pasal 66 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa,

“Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.”

Dengan dihapuskannya pembatasan yang sebelumnya diatur pada UU Ketenagakerjaan, hubungan outsourcing diprediksi akan semakin menjamur karena dapat digunakan untuk jenis pekerjaan apapun.

  • Kesimpulan

Secara hukum, Indonesia mengakui 2 (dua) jenis hubungan kerja non-standar, ialah PKWT serta outsourcing, yang diatur dengan jelas dalam UU Ketenagakerjaan serta peraturan turunannya. Namun, hubungan kerja paruh waktu (part-time atau on-call) serta hubungan kerja terselubung (disguised employment) belum diatur dalam hukum ketenagakerjaan, meskipun jumlah pekerja di kedua kategori ini terus meningkat. Akibatnya, mereka tidak memperoleh perlindungan atas hak-hak dasar seperti gaji minimum, jaminan sosial, serta kesehatan serta keselamatan kerja. Sayangnya, UUCK yang baru disahkan tidak memberikan perlindungan tambahan untuk pekerja non-standar, malah mengurangi perlindungan untuk pekerja kontrak serta outsourcing. Oleh karena itu, tanpa pengaturan hukum yang jelas, risiko eksploitasi pada pekerja non-standar semakin besar.


DAFTAR PUSTAKA

Artikel Jurnal

Darma, Susilo Andi. “Kedudukan Hubungan Kerja; Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah Hukum Ketenagakerjaan Dan Sifat Hukum Publik Dan Privat.” Mimbar Hukum 29, No. 2 (Juni 2017): 225. https://doi.org/10.22146/jmh.25047.

Fatmawati, Dian, M. Falikul Isbah, serta Amelinda Pandu Kusumaningtyas. “Pekerja Muda serta Ancaman Deskilling-Skill Trap di Sektor Transportasi Berbasis Daring.” Jurnal Studi Pemuda 8, No. 1 (2019): 42. http://doi.org/10.22146/studipemudaugm.45301.

Izzati, Nabiyla Risfa. “Improving Outsourcing System in Indonesia: Fixing the Gap of Labour Regulation.” Mimbar Hukum 29, No. 3 (Oktober 2018): 530. https://doi.org/10.22146/jmh.28372.

Izzati, Nabiyla Risfa. “Eksistensi Yuridis dan Empiris Hubungan Kerja Non-Standar dalam Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.” Masalah-Masalah Hukum, Jilid 50 No. 3 (Juli 2021). DOI: 10.14710/mmh.50.3.2021.290-303

Nafila, Nafila, Erlin Kristine, serta Endra Wijaya. “Perlindungan Hak-Hak Buruh pada Praktik Sistem Outsourcing: Sebuah Kesenjangan Penerimaan.” Jurnal Hukum Novelty 8, No. 2 (2017): 254-255. https://doi.org/10.26555/novelty.v8i2.a5552.

Rabbani, Disi Riwanda. “Kerja Layak Bagi Mahasiswa Pekerja Kontrak Paruh Waktu (Garda Depan) Di PT. Aseli Dagadu Djokdja.” Jurnal Studi Pemuda 6, No. 2 (September 2017): 616-617. https://doi.org/10.22146/studipemudaugm.39490.

Sari, Nindy Purnama. “Transformasi pekerja informal ke arah formal: analisis deskriptif serta regresi logistik.” Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan 9, No. 1 (Februari 2016).: 29-30. https://doi.org/10.24843/JEKT.2016.v09.i01.p03.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. 

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.250/MEN/XII/2008 tentang Klasifikasi dan Karakteristik Data dari Jenis Informasi Ketenagakerjaan. 

Jawaban dari pertanyaan anda ditulis oleh I Gede Karang Bagus Prema Thyaga serta telah dilakukan review oleh Raden Deva Bramaji, S.H.

Demikian jawaban yang bisa kami berikan terkait pertanyaan Anda. Mohon diingat jika jawaban yang telah kami paparkan tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap serta mengikat. Dalam persoalan jawaban ALSA Legal Assistance yang disampaikan, kami ALSA LC Unud tidak bisa dituntut serta tidak bisa digugat atas segala pertanyaan, kesalahan, ketidakakuratan, maupun kekurangan dalam jawaban yang disampaikan. Selain itu, jawaban ALSA Legal Assistance ini juga tidak bisa dijadikan alat bukti dalam persidangan. Sekian dari kami, terima kasih telah menghubungi kami.

16 views0 comments

Recent Posts

See All

FASILITAS PENANAMAN MODAL DI INDONESIA

Pertanyaan: Di Indonesia, apa saja syarat yang perlu dipenuhi untuk memperoleh fasilitas penanaman modal, serta jenis fasilitas apa saja...

Comments


bg batik.png

Address

Jalan Pulau Bali No. 1 Denpasar, Bali, Indonesia

  • Instagram
  • Facebook
  • X
  • TikTok
  • LinkedIn
  • YouTube
Universitas Udayana
ALSA Local Chapter Universitas Udayana

© 2024 Asian Law Students' Association Local Chapter Universitas Udayana

line

Organized by Vice Director on ICT ALSA LC Unud.

bottom of page