Pertanyaan:
Dalam restrukturisasi Perseroan Terbatas, terdapat beberapa bentuk tindakan hukum seperti penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan. Pertanyaan saya adalah, apakah ada perlindungan hukum bagi pemegang saham minoritas dalam setiap bentuk restrukturisasi tersebut. Jika ada, bagaimana pengaturannya terkait perlindungan tersebut?
Terima kasih atas pertanyaannya! Dalam menjawab pertanyaan ini, kami akan merujuk pada beberapa jurnal yang relevan. Sebelum memberikan jawaban mengenai perlindungan hukum yang tersedia bagi pemegang saham minoritas, kami akan menguraikan terlebih dahulu mengenai restrukturisasi Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut PT).
Restrukturisasi Perseroan Terbatas
Restrukturisasi adalah tindakan mengubah struktur, sistem, atau operasional suatu perusahaan dengan tujuan meningkatkan efisiensi, kinerja, dan/atau beradaptasi dengan perubahan kondisi pasar. Tindakan ini umumnya dilakukan ketika perusahaan mengalami penurunan kinerja, dan sebagai upaya untuk menghindari penurunan yang berkepanjangan, perusahaan akan melakukan restrukturisasi sebagai solusi. Dalam restrukturisasi PT, terdapat 4 (empat) bentuk umum, yaitu penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan perseroan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT) mengatur bahwa proses restrukturisasi harus memperhatikan kepentingan berbagai pihak. Dalam hal ini, salah satu pihak yang perlu diperhatikan adalah pemegang saham minoritas. Lebih lanjut, penjelasan mengenai bentuk-bentuk restrukturisasi PT dapat dijelaskan sebagai berikut:
Penggabungan Badan Hukum PT
Merger atau penggabungan, mengambil istilah dari bahasa Latin “mergere”. Merger secara harfiah berarti penggabungan bersama, kombinasi, atau penyatuan yang menghasilkan hilangnya PT yang digabungkan. Penggabungan PT berdampak pada beralihnya aktiva dan kewajiban dari satu atau lebih PT kepada PT baru yang menerima penggabungan, menyebabkan berakhirnya status hukum sebelumnya dari badan hukum yang bergabung. Akibatnya, hanya ada satu PT yang tersisa setelah gabungan awal dua atau lebih PT. Merger dapat dibagi menjadi tiga jenis utama. Pertama, merger horizontal, yaitu penggabungan antara perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha yang sama. Contohnya adalah merger antara dua perusahaan sepatu. Kedua, merger vertikal, yaitu penggabungan antara perusahaan yang memiliki keterkaitan dalam kegiatan operasional. Misalnya, perusahaan pemintalan benang melakukan merger dengan perusahaan yang memproduksi kain. Ketiga, merger konglomerat, yang melibatkan perusahaan-perusahaan dari sektor usaha yang tidak saling berhubungan, seperti perusahaan pakaian yang bergabung dengan perusahaan elektronik. Terlepas dari apakah itu merger horizontal, vertikal, atau konglomerat, tujuannya tetap sama pada umumnya, yaitu mempercepat ekspansi perusahaan dan mengoptimalkan keuntungan. Hal ini biasanya dicapai melalui mekanisme pertukaran saham antara perusahaan yang digabungkan.
Secara umum, syarat-syarat penggabungan diatur dalam Pasal 126 UUPT jo. Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut PP 27/1998). Syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif, artinya semua elemen harus dipenuhi. Jika salah satu dari syarat tersebut dilanggar, merger akan dianggap batal demi hukum dan tidak dapat dilaksanakan. Selain itu, Pasal 123 Ayat (4) UUPT menetapkan satu syarat tambahan bagi perseroan tertentu yang ingin melakukan penggabungan, yaitu harus mendapatkan persetujuan dari instansi terkait. Dalam hal ini, yang dimaksud dari perseroan tertentu adalah perseroan yang bergerak dalam bidang usaha khusus, seperti lembaga keuangan bank, yang memerlukan persetujuan dari Bank Indonesia jika terjadi penggabungan pada perseroan perbankan. Setelah memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan tersebut, maka berdasarkan Pasal 123 UUPT jo. Pasal 7 PP 27/1998, PT harus menyusun rancangan penggabungan. Rancangan tersebut kemudian harus disetujui oleh Dewan Komisaris dari masing-masing perseroan yang akan menggabungkan diri, untuk kemudian diajukan kepada Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disebut RUPS) guna mendapatkan persetujuan. Setelah disetujui oleh RUPS, rancangan penggabungan baru dapat dituangkan dalam Akta Penggabungan, yang kemudian salinan dari Akta Penggabungan tersebut dilampirkan sebagai pemberitahuan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut Kemenkumham) untuk dicatat dalam daftar perseroan.
Peleburan Badan Hukum PT
Peleburan atau konsolidasi adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh dua atau lebih perseroan untuk meleburkan diri, dengan membentuk satu perseroan baru yang secara hukum mengambil alih aktiva dan pasiva dari perseroan-perseroan yang melebur, sehingga status badan hukum perseroan-perseroan yang melebur kemudian berakhir secara otomatis. Ketika memutuskan untuk melakukan peleburan, perseroan A dan perseroan B akan berakhir dan melebur menjadi perseroan baru, yaitu perseroan C. Tahap awal dalam proses ini dimulai dengan penyusunan rancangan peleburan oleh direksi perseroan yang memiliki niat untuk meleburkan perseroannya. Rancangan tersebut harus mencakup beberapa informasi, seperti nama dan lokasi masing-masing perseroan, alasan dan penjelasan direksi mengenai peleburan, ketentuan-ketentuan yang perlu dipenuhi dalam proses peleburan, serta tata cara penilaian dan pengalihan saham. Rancangan ini juga harus memuat perubahan dalam anggaran dasar, laporan keuangan, rencana kelanjutan atau penghentian operasional perseroan, neraca proforma, hak dan kewajiban direksi, dewan komisaris, dan karyawan, serta penyelesaian hak dan kewajiban dengan pihak ketiga. Penyelesaian hak-hak pemegang saham yang tidak setuju juga harus diatur. Selain itu, rancangan harus mencantumkan pula nama direksi dan dewan komisaris, beserta gaji, honorarium, dan tunjangan mereka, estimasi waktu pelaksanaan peleburan, laporan kondisi perseroan, serta perubahan-perubahan dalam kegiatan perseroan yang dapat mempengaruhi proses peleburan PT. Barulah setelah rancangan peleburan selesai, dewan komisaris dari masing-masing perseroan dapat memberikan persetujuan atas peleburan tersebut.
Pengambilalihan Badan Hukum PT
Pengambilalihan adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh suatu badan hukum atau individu untuk mengambil alih saham suatu perseroan, yang mengakibatkan perubahan dalam pengendalian perusahaan tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 11 UUPT. Ketika sebuah PT diambil alih, status badan hukumnya tidak berubah. Aktiva dan pasiva PT tetap berada di bawah kendali PT tersebut, tanpa menyebabkan pembubaran atau penghentian badan hukumnya. Sederhananya, proses pengambilalihan dapat dijelaskan sebagai berikut, Perseroan A dan Perseroan B adalah dua entitas yang terpisah sebelum dilakukannya akuisisi. Setelah akuisisi, Perseroan A mengendalikan Perseroan B dengan memiliki sebagian besar sahamnya. Proses ini harus mempertimbangkan berbagai kepentingan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 126 Ayat (1) UUPT. Akuisisi dilakukan dengan mengambil alih saham yang telah, atau akan, diterbitkan oleh suatu perseroan. Proses ini bisa dilakukan baik melalui pembelian saham dari pemegang saham secara langsung atau melalui direksi perseroan, sebagaimana diatur dalam Pasal 125 UUPT. Jika akuisisi dilakukan melalui direksi, langkah-langkah yang harus ditempuh mencakup penyampaian rencana akuisisi kepada direksi perseroan yang akan diambil alih, penyusunan rancangan pengambilalihan, persetujuan dari RUPS, pengumuman Ringkasan Rancangan Pengambilalihan, pemberian kesempatan bagi kreditur untuk mengajukan keberatan, dan penyusunan Akta Pengambilalihan. Setelah Akta Pengambilalihan disusun, salinan dari akta ini dilampirkan sebagai pemberitahuan resmi kepada Kemenkumham.
Pemisahan Badan Hukum PT
Pemisahan diatur dalam Pasal 1 Angka 12 UUPT, yang mendefinisikan pemisahan sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh perseroan untuk memisahkan usahanya, yang menyebabkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan secara otomatis beralih kepada dua perseroan atau lebih, atau hanya sebagian aktiva dan pasiva yang dialihkan ke satu atau lebih perseroan lain. Berbeda dengan penggabungan atau peleburan perseroan, pemisahan ini memiliki dua bentuk, yaitu pemisahan murni dan tidak murni. Dalam pemisahan murni, PT yang memisahkan usahanya akan mentransfer semua aktiva dan kewajibannya ke perseroan lain, dan kemudian menghentikan eksistensinya. Sebaliknya, dalam pemisahan tidak murni, hanya sebagian dari aset dan kewajiban yang dialihkan, sementara PT yang melakukan pemisahan tetap beroperasi. Selama pemisahan, beberapa konsekuensi yang timbul di antaranya adalah pembuatan akta pendirian perseroan baru, yang mencakup pengalihan yuridis atas aktiva dan pasiva dari perseroan awal ke perseroan baru hasil pemisahan. Selain itu, kepentingan para stakeholder juga harus diperhatikan sepanjang proses pemisahan ini. Jika stakeholder mengalami kerugian sebagai akibat dari pemisahan, mereka berhak mengajukan gugatan berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal serupa juga diatur dalam Pasal 61 Ayat (1) UUPT, yang menyatakan bahwa pemegang saham yang merasa dirugikan berhak untuk mengajukan gugatan.
Perlindungan terhadap Pemegang Saham Minoritas
Di Indonesia, perlindungan pemegang saham minoritas menjadi sangat penting, mengingat banyak individu dalam negeri ini yang memiliki saham dengan jumlah terbatas, sehingga kepentingan mereka perlu diutamakan, karena pemegang saham minoritas sering kali terpinggirkan dalam pengambilan keputusan strategis perusahaan. Ketidakberdayaan ini dapat menyebabkan kerugian signifikan, terutama jika keputusan yang diambil oleh pemegang saham mayoritas tidak mempertimbangkan dampak terhadap seluruh pemegang saham. Dalam hal ini, perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas tidak secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya disebut UUPM), tetapi diatur dalam UUPT. Pada dasarnya, setiap pemegang saham, baik mayoritas maupun minoritas memiliki hak yang sama, sebagaimana tercantum dalam Pasal 53 Ayat (2) UUPT yang mengatur bahwa, setiap pemegang saham, baik mayoritas maupun minoritas, memiliki hak yang sama untuk setiap saham dalam klasifikasi yang sama. Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 4 Ayat (1) PP No. 27 Tahun 1998 yang mengatur bahwa, setiap tindakan hukum yang berkaitan dengan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan harus memperhatikan kepentingan berbagai pihak, termasuk perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan, kreditor, mitra usaha lainnya, serta masyarakat dan prinsip persaingan yang sehat dalam berbisnis. Dengan demikian, sudah dipastikan bahwa pemegang saham minoritas memiliki perlindungan atas hak mereka dalam proses restrukturisasi PT.
Dalam hal penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan PT, yang juga dikenal sebagai restrukturisasi PT, hak-hak pemegang saham minoritas diatur dalam Pasal 126 Ayat (1) huruf a UUPT. Setiap pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas, memiliki hak untuk meminta perseroan membeli saham mereka dengan harga yang wajar jika mereka tidak setuju dengan proses penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan yang berpotensi merugikan mereka atau perseroan, sesuai dengan Pasal 62 Ayat (1) UUPT. Meskipun pemegang saham minoritas tidak setuju dengan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan, proses tersebut tetap akan dilaksanakan sesuai ketentuan, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 126 Ayat 3 UUPT. Meski demikian, pemegang saham minoritas yang tidak setuju tetap memiliki hak untuk menggunakan hak-hak mereka, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 62 Ayat (1) dan (3) UUPT, bahwa dalam restrukturisasi, jika pemegang saham tidak setuju, perusahaan akan memenuhi hak mereka dengan mengganti saham yang mereka miliki dalam perseroan tersebut.
Menurut UUPT, bentuk perlindungan yang diberikan kepada pemegang saham minoritas meliputi hak untuk mengusulkan dilaksanakannya RUPS, hak untuk memeriksa dokumen PT, hak untuk mendapatkan penilaian atas nilai saham atau appraisal right, hak untuk meminta pembubaran perseroan, dan hak untuk tidak menanggung kerugian yang disebabkan oleh organ perseroan. Sementara itu, UUPM juga memberikan perlindungan yang penting bagi pemegang saham dengan berbagai hak yang mendukung kepentingan mereka. Beberapa di antaranya adalah hak untuk memperoleh informasi mengenai kegiatan perusahaan, hak atas keamanan dalam kepemilikan dan transfer saham, serta pengaturan yang jelas terhadap transaksi-transaksi yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Prinsip Good Corporate Governance (selanjutnya disebut GCG) memiliki peranan yang krusial pula dalam melindungi hak-hak pemegang saham minoritas. GCG merupakan mekanisme yang mengatur tata kelola perusahaan berdasarkan berbagai aturan, seperti Anggaran Dasar, UUPT, dan regulasi lainnya yang mendasari operasional perusahaan. Konsep GCG ini muncul dari dua ide utama, yaitu untuk membedakan fungsi dan kepentingan antara pihak-pihak di dalam perusahaan, seperti penyedia modal, pengawas, dan pelaksana operasional perusahaan dan untuk melindungi kepentingan pemegang saham minoritas yang sering kali terpinggirkan dalam pengelolaan perusahaan. Dalam GCG, perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas dijabarkan melalui empat asas, yakni asas keadilan, yang menjamin perlakuan setara terhadap seluruh pemegang saham dan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh kompensasi atas pelanggaran hak-hak mereka; asas transparansi, yang menekankan pentingnya keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan serta penyampaian informasi yang relevan mengenai perusahaan; asas akuntabilitas, yang memastikan adanya kejelasan fungsi dan tanggung jawab dari organ perusahaan kepada pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya, sehingga pengelolaan perusahaan dapat berlangsung secara efektif; dan asas responsibilitas, yang mewajibkan perusahaan untuk mematuhi hukum yang berlaku dan bertindak secara bertanggung jawab terhadap semua pemangku kepentingan serta masyarakat. Adapun perlindungan terhadap pemegang saham minoritas ini dilakukan untuk mendorong rasa aman dalam berinvestasi. Dengan adanya perlindungan ini, kepercayaan investor meningkat, yang kemudian berdampak positif pada stabilitas pasar modal dan pertumbuhan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Artikel Jurnal
Asikin, Zainal, Moh Saleh, dan Eduardus Bayo Sili. “Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Badan Usaha dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia.” Jurnal Risalah Kenotariatan 2, No. 2 (Desember 2021): 167-170.
Mahulette, Endro Rodrigo. “Analisis Yuridis terhadap Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan Pemisahan Perusahaan Berdasarkan Undang–Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.” Lex Privatum 6, No. 7 (Januari 2019): 68-72.
Pratama, Wayan Dion Sanjaya. “Pengaturan Hak Pemegang Saham Minoritas ketika Terjadi Restrukturisasi Perusahaan Pada Undang Undang Perseroan Terbatas.” Jurnal Kertha Desa 9, No. 7 (Juli 2021): 81-86.
Rizki, Muhammad, Ramziati, dan Hamdani. “Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Saham Minoritas dari Penggabungan Perusahaan (Merger) pada Perseroan Terbatas di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh 4, No. 2 (April 2021): 49-50.
Roesadi, Lintang Agustina. “Perlindungan Pemegang Saham Minoritas Dalam Terjadi Pengambilalihan Saham Pada Anak Perusahaan (Kasus PT Sumalindo Lestari Jaya, Tbk).” Diponegoro Law Journal 6, No. 2 (Agustus 2017): 2.
Sinaga, Niru Anita. “Hal-Hal Pokok Pendirian Perseroan Terbatas di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 8, No. 2 (Maret 2018): 50-56.
Situmorang, Riri-Lastiar, and Rasji Rasji. “Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas pada Perseroan Terbatas Terbuka.” Jurnal Ilmu Hukum 12, No. 1 (Februari 2023): 119.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas.
Jawaban dari pertanyaan anda ditulis oleh I Gusti Agung Kharisma Putri dan Ni Made Respati Sri Wahyuni, serta telah dilakukan review oleh Ida Bagus Wahyu Anom Permana Putra, S.H.
Demikian jawaban yang dapat kami berikan terkait pertanyaan Anda. Mohon diingat bahwa jawaban yang telah kami paparkan tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat. Dalam hal jawaban ALSA Legal Assistance yang disampaikan, kami ALSA LC Unud tidak dapat dituntut dan tidak dapat digugat atas segala pertanyaan, kesalahan, ketidakakuratan, maupun kekurangan dalam jawaban yang disampaikan. Selain itu, jawaban ALSA Legal Assistance ini juga tidak dapat dijadikan alat bukti dalam persidangan. Sekian dari kami, terima kasih telah menghubungi kami.
Comments